Jakarta - Direktur Jenderal HAM, Dhahana Putra, menyesalkan adanya intimidasi kepada jemaat Gereja Tesalonika pada 30 Maret 2024 yang sempat viral beberapa hari belakangan. Menurutnya intimidasi semacam itu tidak boleh ditoleransi karena berpotensi mengikis ikatan kebangsaan.
"Terlebih kita melihat bersama ada sikap mengolok-olok jemaat gereja Tesalonika tentu ini mengikis ikatan kebangsaan dan sama sekali tidak merefleksikan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia," jelasnya.
Dhahana menekankan Indonesia merupakan bangsa yang menjunjung tinggi kemajemukan atau keberagaman termasuk dalam beragama. Penghormatan yang tinggi di dalam hak untuk beragama itu kemudian dimuat di dalam konstitusi.
“Sebagai warga negara yang baik, mari kita menghormati hak umat beragama dalam menjalankan ibadah sebagai hak konstitusionalnya," kata Dhahana.
Direktur Jenderal HAM menghimbau agar pemerintah daerah, aparat penegak hukum, FKUB, dan para pemangku kebijakan terkait dapat memenuhi dan melindungi hak warga negara dalam menjalankan ibadah.
Pasalnya, Ia menuturkan bila pemerintah tidak memfasilitasi hak beribadah umat beragama
maka merupakan sebuah bentuk pelanggaran HAM.
"Jika memang ada kendala dalam perizinan rumah ibadah, maka perlu dibantu dan difasilitasi jangan sampai hak beribadah yang merupakan HAM tidak dipenuhi," ujarnya.
Tidak lupa, Direktur Jenderal HAM mengapresiasi upaya Pemerintah Kabupaten Tangerang dan Polres Metro Tangerang dalam memediasi persoalan ini. Sehingga jemaat gereja Tesalonika dapat beribadah
sementara di aula kantor lama kecamatan Teluknaga.
Kendati demikian, Dhahana mengingatkan pesan Presiden Joko Widodo dalam Rakornas Kepala Daerah dan FKPD se-Indonesia pada Januari 2023 silam terkait pentingnya menjalankan amanat konstitusi untuk memenuhi dan melindungi hak umat beragama dalam beribadah.
“Sebagaimana arahan Bapak Presiden, jangan sampai konstitusi itu kalah oleh sebuah kesepakatan yang mencederai hak konstitusional warga negara," kata Dhahana.
Lebih lanjut, Direktur Jenderal HAM mengakui toleransi antar umat beragama merupakan pekerjaan rumah yang tidak sederhana. Diakuinya, masih ada pandangan sejumlah pihak di masyarakat yang menolak keberagaman.
“Sebagai contoh misalnya, kita melihat di video viral itu ada pihak yang mengatakan bahwa ini wilayah umat A sehingga umat beragama lain tidak boleh beribadah, padahal
dalam kehidupan berbangsa kita tidak mengenal konsep demikian," jelasnya.
Oleh karena itu, Dhahana meyakini upaya mendorong moderasi beragama menjadi penting dalam membangun masyarakat yang toleran terhadap perbedaan.
“Selain penegakan hukum, kami
memandang perlu komitmen kuat baik di pusat maupun daerah dalam mendorong upaya moderasi beragama di tengah masyarakat sehingga lahir kesadaran bahwa toleransi dan menghargai antar umat
beragama misalnya dalam beribadah adalah sebuah keniscayaan hidup berbangsa," katanya.
Ia mengungkapkan pihaknya kini tengah menggodok Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Generasi ke-6. Isu seputar keberagaman akan diintegrasikan dalam rancangan RANHAM mendatang.
“Tentu dengan dimasukannya isu seputar keberagaman ke dalam RANHAM mendatang,
kami berharap pemerintah baik di pusat maupun daerah akan memiliki perspektif yang lebih baik dalam menyikapi toleransi antar umat beragama di tanah air," pungkas Dhahana.
Di tempat terpisah, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Banten, Dodot Adikoeswanto turut menyesalkan adanya kejadian tersebut.
Dodot Adikoeswanto menyebut, toleransi merupakan satu kata yang sering diucapkan di negara Indonesia ini, mengingat Indonesia yang kaya akan keberagaman ras, agama, suku, dan bahasa. Namun, pada kenyataannya masih ada saja oknum yang melanggarnya dengan berbagai alasan.
“Kerukunan Umat Beragama akan terwujud jika kita mampu mengembangkan sikap toleransi artinya saling menghargai satu sama lain. Mari kita tanamkan itu”, tandasnya.