Serang - Hadir di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Wakil Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia (Edward Omar Sharif Hiariej) jadi Narasumber dalam Dialog Publik "Rancangan Undang-Undang KUHP" yang digelar Kanwil Kemenkumham Banten, Senin (26/09).
Mengawali dialognya, Prof. Eddy, sapaan akrab Wamenkumham menjelaskan urgensi dan latar belakang lahirnya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini sudah masuk tahap akhir pembahasan.
"RUU KUHP merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyusun suatu sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda", ujar Wamenkumham membuka paparannya.
Setidaknya, ada 5 (lima) misi yang mendasari lahirnya RKUHP atau pengembangan hukum pidana Indonesia di masa depan.
"Misi yang pertama adalah demokratisasi, yang ke-dua adalah dekolonialisasi, yang ke-tiga adalah harmonisasi, ke-empat adalah konsolidasi dan terakhir, modernisasi", imbuh pria kelahian Ambon ini.
Demokratisasi, dijelaskan Wamenkumham sebagai upaya pendemokrasian rumusan pasal tindak pidana dalam RKUHP sesuai Konstitusi (Pasal 28 J UUD 1945) dan Pertimbangan Hukum dari Putusan MK atas pengujian pasal-pasal KUHP yang terkait.
Sementara, Dekolonialisasi adalah upaya menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama, yaitu mewujudkan Keadilan Korektif-Rehabilitatif-Restoratif, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (Standard of Sentencing), dan memuat alternatif Sanksi Pidana, misal Pidana Pengawasan dan Pidana Kerja Sosial, jika tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
Selanjutnya, Konsolidasi yaitu melakukan Penyusunan Kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan Rekodifikasi (terbuka-terbatas). Tujuannya, menghimpun kembali aturan-aturan yang berserakan untuk dihimpun kembali ke dalam KUHP.
Serta, Harmonisasi, sebagai bentuk adaptasi dan keselarasan dalam merespon perkembangan hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (living law).
Dan terakhir, Modernisasi, Filosofi pembalasan klasik (Daad-strafrecht) yang berorientasi kepada perbuatan semata-mata dengan filosofi integratif yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku dan korban kejahatan (pemberatan dan peringanan pidana).
Dialog semakin menarik ketika Moderator, Andi Taletting Langi, yang merupakan Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kemenkumham Banten membuka kesempatan bagi para peserta dialog untuk mengajukan pertanyaan.
Kesempatan yang diberikan disambut antusias oleh para peserta. Salah satunya, Rena Yulia, Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Melalui forum Dialog Publik RUU KUHP ini, diharapkan masyarakat dapat memiliki pemahaman yang komprehensif atas maksud, tujuan, prinsip, dan isi kandungan Rancangan Undang-Undang tentang KUHP yang pada Tahun 2019 ditunda pembahasannya karena adanya 12 (dua belas) issu krusial yang berkembang di masyarakat.
Sebagaimana disampaikan Kepala Kanwil Kemenkumham Banten (Tejo Harwanto) dalam sambutannya.
"Dibukanya ruang dialog ini bertujuan untuk menghimpun masukan-masukan dari berbagai pihak yang menaruh perhatian terhadap RUU KUHP, untuk menyamakan persepsi masyarakat terhadap pasal dalam RUU KUHP, dan sebagai pertanggungjawaban proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara transparan serta melibatkan masyarakat", ujar Tejo Harwanto.
Dialog Publik yang berlangsung di Aula Gedung Ekonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ini turut hadiri oleh Pj. Sekda Provinsi Banten, Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Plt. Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Pimpinan Tinggi Pratama Kemenkumham Banten, Civitas Akademika hingga Perwakilan FORKOPIMDA di Wilayah Provinsi Banten. (Humas Kemenkumham Banten)